INSPIRASIJATENG.COM – Sejumlah 37 lukisan karya 16 seniman alumni ISI Yogyakarta Angkatan 1993, dipamerkan di Rumah Seni Limanjawi, Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pada 2 – 18 Februari 2025. Di antara 37 lukisan yang dipajang tersebut, ada yang menggelitik pengnjung, yakni lukisan wayang Sengkuni bertajuk Ndais karya Turiyanto.
Arti Ndais dalam Kamus Jawa-Indonesia, yang biasa diucapkan oleh masyarakat di Wilayah Kedu (Temanggung, Wonosobo, Magelang, Purworejo) memang punya banyak makna, antara lain ndadeni, ndadi, ndadosaken, ndadra, ndakwa, ndalih, ndableg, ndadi.
Menurut pelukis senior asal Temanggung yang tinggal di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, M. Sodiq, kata Ndais sudah biasa diucapkan orang yang tinggal di wilayah Kedu.
“Ndais itu artinya umpatan adu domba sakkarepe dewe atau seenaknya sendiri,” katanya sambil melihat lukisan tersebut.
Sedangkan Turiyanto menuturkan, bahwa lukisan dengan figur Sengkuni yang dikreasi menjadi manusia wayang, konsepnya adalah membangun karakter Sengkuni. Tokoh Sengkuni dalam jagad kehidupan selalu ada, dia mewakili sosok fenomenal sebagai tukang adu domba yang sok suci tapi haus kekuasaan.
Kalau dilihat dengan cermat, lukisan ini lucu menyindir (sindiran) seseorang yang dianggap mirip Sengkuni. Sengkuni dalam lukisan berjudul “Kalabendu mana” digambarkan memakai pakaian bergaris-garis, seperti terpenjara di ruang yang sempit.
Menurut Turiyanto yang kini tinggal di Parakan, Temanggung, kisah Sengkuni digambarkan sebagai sosok yang penuh tipu daya, dan berperan besar dalam menciptakan perpecahan, kerusakan dan kehancuran suatu masyarakat.
Apabila diidentikkan sebagai tokoh yang licik dan manipulatif, apakah di tengah kita telah lahir “Sengkuni baru” pertanda kembalinya zaman Kalabendu. Berdasarkan teks “nuladha laku utama” tembang sinom, kontradiksi dengan tangan yang mengacungkan jemari lambang cinta, sementara yang muncul adalah kilatan api sambil mengumpat “Ndais”.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita akan dikuasai oleh watak Sengkuni atau justru jiwa Sengkuni yang harus dipenjara. Petilan tembang sinom “nuladha laku utama” mengajarkan untuk berperilaku yang utama, baik, dan becik.
“Jadi gatra ini lebih tepat kalau dimaknai, tirulah cara menjalani hidup yang luhur sampai menjadi misuwur,” kata Turiyanto.
Ketua Pameran Prasidha Gatra Akyati, Agni Tripratiwi mengungkapkan, menjadi seorang seniman akan menghadapi banyak tantangan seperti karir, rezeki, mental dan pengakuan. Memilih profesi sebagai ahli yang membutuhkan keahlian, pendidikan dan kecerdasan.
Dalam mengembangkan profesi, perlunya dukungan pengetahuan, pengalaman dan keahlian berkomunikasi. Memperjuangkan profesi dapat dilakukan dengan beberapa cara, atau membutuhkan tata kelola agar bisa eksis mencapai kemasyhuran. Seni dan identitas diri, adalah capaian yang harus diperjuangkan dan menjadi cita-cita ideal bagi sosok pelukis yang ingin meraih prestasi, mencapai misuwur atau akyati (masyhur).
Gatra Akyati oleh kelompok PRASIDHA 93, dipilih menjadi dasar filosofi untuk mencapai kemasyhuran dan memperkuat ambisi positifnya. Karya seni yang mereka ciptakan semuanya artistik dan estetik, memperjuangkan konsep seninya untuk memenuhi ambisi pribadi.
Inspirasijateng.com | [Reporter: agri/arista] | [Editor: Redaksi]