INSPIRASIJATENG.COM – Wartawan itu sederhananya seperti “tukang ngarit”, yang setiap hari mencari rumput, tetapi tidak dimakan sendiri, untuk ternaknya, atau untuk ternak milik orang lain (buruh ngarit).
Dalam mencari rumput harus punya “sabit tajam” agar rumput mudah dipotong dan dikumpulkan dengan cepat. Maka sabit perlu diasah setiap hari, bagi wartawan, sabit itu bukan ID Card, tapi otak dan keterampilan jurnalistik sang wartawan. Perlu terus belajar, baik kepada ahli (belum tentu senior) maupun kepada yang sudah berpengalaman (banyak belajar dan praktik). Sehingga sang wartawan itu bisa berkembang dalam memahami dan menjalankan tugas sebagai “tukang ngarit” (wartawan yang sebenarnya).
“Tukang ngarit” tentu akan mencari rumput di mana pun, namun ketika lahan itu ada (dan tahu) pemiliknya, tentu akan minta izin atau “nembung”. Tidak serampangan atau “grusah-grusuh ora duwe adab” memotong rumput semaunya. Artinya seorang wartawan harus minta izin si empunya ketika memberitakan sesuatu. Sehingga berita yang disajikan berdasarkan data dan fakta yang ada dari si empunya, bukan asumsi dan argument si wartawan.
Apakah “tukang ngarit” butuh paguyuban “tukang ngarit”? Tidak juga, karena dia bisa mandiri dalam mencari rumput. Si “tukang ngarit” itu akan nyaman mencari rumput karena punya alat yang tajam dan skil merumput yang handal. Selain itu, dia memiliki adab dan tatakrama “ngarit”. Ketika suatu ketika jatuh di jalan saat membawa rumput, banyak yang menolongnya. Sangat beda dengan “tukang ngarit” yang “grusah-grusuh ora duwe adab”, “umuk”, “kementhus”, tentu banyak yang abai atau ogah menyapa, apalagi berteman.
Apakah “tukang ngarit” mendapatkan materi? Jawabannya, bisa. Meskipun tidak seketika. Misal ternaknya milik sendiri, mungkin dia mendapatkan materi ketika menjual ternaknya, kambing, sapi atau lainnya. Jadi tidak seketika atau dalam waktu pendek, namun setiap hari dia “ngarit”, karena baginya adalah mendapatkan rumput, bukan uang.
Bila dia “buruh ngarit”, dia tentu akan mendapatkan upah dari sang majikan, bisa harian, mingguan, atau bulanan. Artinya itu wartawan yang dibayar oleh medianya, atau pimpinan media.
Maka sebagai “tukang ngarit” seorang wartawan adalah berpikir bagaimana setiap hari bisa mendapatkan “rumput segar” (berita up to date) dengan senjata tajam dan adab yang luhur, bukan karena uang (meski itu juga sangat membutuhkan). Berteman baik dengan sesama “tukang ngarit”, tidak merasa lebih tinggi atau lebih pintar dari lainnya.
Seorang “tukang ngarit” akan merasa percaya diri ketika masih mau belajar. Akan merasa “arit”-nya tumpul, sehingga selalu diasah setiap hari. Akan selalu “ngarit” meski tidak ada duit. Maka seorang wartawan akan hadir meliput meskipun di situ tidak ada yang menyediakan atau memberi “amplop sak isine”.
Mari, kita jadi “tukang ngarit” yang memiliki “arit landhep” (tajam) dan adab yang luhur. Niscaya akan diterima di mana saja. Jangan hiraukan “tukang ngarit” lain yang sok jumawa, sok pinter, atau sok berkuasa. Biarkan saja, karena rumput tidak pernah akan memilih siapa yang memotongnya.
Semoga bermanfaat.