JAKARTA. INSPIRASIJATENG.COM- Mantan Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia Ke-10 dan Ke-12, Jusuf Kalla (JK) menyinggung soal ekonomi Indonesia yang 50 persen lebih dikuasai oleh penduduk etnis Tionghoa. Padahal, etnis Tionghoa di Indonesia tak lebih dari 5 persen.
Selain itu, JK menyebut minat orang Indonesia untuk menjadi pengusaha berkurang. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh biaya politik yang tinggi.
“Kita di Indonesia penduduk Tionghoa itu hanya 4,5 persen tapi mengusai ekonomi lebih dari 50 persen. Jadi kekuatan 10 kali lipat dari pada jumlahnya,” kata JK dalam acara halalbihalal yang diadakan oleh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (12/5/2023) malam.
Jusuf Kalla juga mencontohkan negara tetangga, yaitu Malaysia yang 30 persen total penduduk Tionghoanya menguasai 60 persen ekonomi negara.
“Malaysia juga. Tapi Malaysia memang penduduk Tionghoa itu 30 persen. Jadi kalau ekonomi Malaysia 60 persen dikuasai Tionghoa, itu hanya 1 banding dua,” kata dia.
JK menyebut minimnya warga Indonesia yang menjadi pengusaha menjadi masalah besar. “Tentu (etnis Tionghoa) sahabat-sahabat kita, penting kerjanya bayar pajak, dia pekerjakan orang. Tapi tantanan terbesarnya ada di kita. Mereka tidak salah yang kurang kita,” tuturnya.
“Karena itu tantangan kita yang terbesar sebenrnya pada dewasa ini. Adalah entrepreneurship. Bukan hanya ilmu saja. Semua di sini perilmuan cendikiawan,” kata dia.
Soal minat orang Indonesia untuk menjadi pengusaha berkurang, JK mencontohkan di Makassar pada tahun 50-an banyak pengusaha hebat, hanya berbekal tamatan SD hingga SMP.
“Zaman dulu saya kasih contoh di Makassar kira-kira ada 60 sampai 70 pengusaha hebat di tahun 50-an termasuk bapak saya cuman tamatan SD paling tinggi SMP,” kata JK.
Namun kini, banyak orang yang lulusan sarjana, mulai berkurang semangatnya untuk menjadi pengusaha. Salah satu sebabnya, menurut dia, karena faktor politik yaitu tingginya biaya politik. Diketahui orang-orang yang terjun di dunia politik membutuhkan biaya yang besar untuk kampanye dan sebagainya.
Orang-orang tersebut tentunya membutuhkan sponsor. Nah, pengusaha-pengusaha besar lah yang terpilih menjadi sponsor demi menutup biaya politik yang cukup besar. Sementara pengusaha kecil makin tersisihkan.
“Turun semangat itu. Tapi itu juga karena politik juga, pengaruh. Kenapa itu, karena threshold 20%. Mau jadi anggota DPR jadi Gubernur tentu ada biayanya belum lagi kampanye perlu sponsor,” katanya.
“Ketika jadi, yang dapat izin real estate di situ, yang izin mal, kadang-kadang taman pun jadi mal karena utang. Jadi Bupati gaji 7 juta ongkos jadi Bupati ratusan miliar, Gubernur ratusan miliar pastilah salah satu cara yang menurunkan biaya politik,” ungkapnya.
JK menyebut, hal itu merupakan masalah besar untuk sekarang dan masa yang akan datang. Dan bila ini dibiarkan, maka akan ada gap sosial di masyarakat. (dtc/ins)